Kudeta Militer Myanmar Masih Memanas: Unjuk Rasa Terus Terjadi, Masyarakat Semakin Menderita

9 Februari 2021, 18:45 WIB
Kudeta militer yang terjadi di Myanmar. /Antara

JURNALSUMSEL.COM- Kondisi Myanmar usai dilakukannya kudeta militer semakin mencekam.

Terjadi unjuk rasa besar-besaran di beberapa wilayah Myanmar untuk menentang kudeta militer pekan lalu.

Pengunjung rasa melakukan pemblokiran jalan dan larangan pertemuan besar.

Hal ini untuk memperpanjang demonstrasi terbesar dalam lebih dari satu dekade pada hari Selasa, 9 Februari 2021.

Mereka meneriakkan dan menghadapi polisi yang menembakkan meriam air dan memperingatkan mereka untuk bubar.

Baca Juga: Jaksa Pinangki Terbukti Terima Suap, Vonis Majelis Hakim Lebih Berat dari Tuntutan Jaksa

Baca Juga: Prediksi Juventus vs Inter Milan: Bianconeri Berpeluang ke Final Setelah Menang di Leg Pertama Coppa Italia

Diketahui, kudeta militer di Myanmar terjadi pada 1 Februari 2021 degan melakukan penahanan pemimpin sipil terpilih Aung San Suu Kyi.

Penahan tersebut telah membawa protes empat hari berturut-turut di negara Asia Tenggara berpenduduk 53 juta jiwa itu.

Tidak hanya unjuk rasa, terjadi juga gerakan pembangkangan sipil yang berkembang yang mempengaruhi rumah sakit, sekolah dan kantor pemerintah.

Pada hari kedua demonstrasi, polisi Myanmar menembakkan meriam air ke pengunjuk rasa damai di ibu kota negara Naypyitaw.

Hal itu dikarenanakan kerumunan unjuk rasa menolak untuk membubarkan diri.

Baca Juga: Keren! Kembali Memecahkan Rekor, Lagu BLACKPINK Kill This Love Berhasil Meraih 1,2 Miliar Penayangan

Baca Juga: Dua Intelektual Muslim Simpulkan Kiamat Akan Terjadi Tahun 2280 M, Begini Penjelasannya!

Selain itu, terlihat dalam video yang diposting di Facebook, Bago, timur laut pusat komersial Yangon juga menunjukkan polisi menembakkan meriam air dan menghadapi kerumunan besar.

Warga mengatakan jembatan yang menghubungkan Yangon tengah ke distrik padat penduduk di luar ditutup pada Selasa pagi, sebelum dibuka untuk beberapa lalu lintas.

Hal ini menghidupkan kembali ingatan hampir setengah abad pemerintahan militer yang berlangsung hingga 2015.

“Kudeta selalu muncul di pikiran kami, setiap kali kami makan, bekerja, bahkan saat istirahat,” kata penduduk Yangon, Khin Min Soe.

"Kami sangat kecewa dan sedih setiap kali kami memikirkan mengapa hal ini menimpa kami lagi,” sambungnya.

Baca Juga: Hore! Pendaftaran KIP Kuliah Sudah Dibuka, Segera Daftar, Begini Caranya!

Baca Juga: Moeldoko Tantang Media Asing Bloomberg yang Menyatakan Pandemi di Indonesia Akan Berakhir 10 Tahun Lagi

Pada hari Senin 8 Februari 2021, dalam pidatonya, pemimpin junta militer Min Aung Hlaing mengulangi tuduhan penipuan yang tidak terbukti dalam pemilu November lalu, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi dengan telak.

"Kami akan terus berjuang," kata aktivis pemuda Maung Saungkha.

Ia juga menyerukan pembebasan tahanan politik dan "kehancuran total kediktatoran".

Para aktivis juga mengupayakan penghapusan konstitusi yang memberikan hak veto kepada tentara di parlemen dan federalisme di Myanmar yang terpecah secara etnis.

Seorang aktivis generasi tua yang dibentuk selama protes yang ditindas dengan darah pada tahun 1988 menyerukan kelanjutan aksi mogok oleh pegawai pemerintah selama tiga minggu lagi.

Baca Juga: MUI Minta Penguasa Militer Myanmar Laksanakan Rosolusi PBB: Berikan Perlindungan Kepada Rohingnya

Baca Juga: Peringati Hari Pers Nasional 2021, Seskab Pramono Anung Beri Pesan Mendalam: Tetap Jaga Integritas!

Kemudian, gerakan pembangkangan sipil, yang dipimpin oleh pekerja rumah sakit juga berdampak pada penurunan angka tes virus Covid-19.

Padahal, Myanmar saat ini merupakan salah satu negara Asia Tenggara terparah dalam penyebaran Covid-19 dengan total 31.177 kematian dari lebih dari 141.000 kasus.***

Editor: Mula Akmal

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler