Besar Kecil Dana Kampanye Jadi Faktor Kepala Daerah Korupsi

- 11 Desember 2020, 17:45 WIB
Ilustrasi korupsi.
Ilustrasi korupsi. /Pixabay/mohamed_hassan.

JURNALSUMSEL.COM - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2020 di 270 wilayah merupakan Pilkada pertama di masa pandemi Covid-19.

Berbagai adaptasi dilakukan mulai dari tahapan Kampanye yang tidak boleh berkerumun, pemilihan suara yang harus menaati protokol kesehatan dan bilik khusus bagi penderita Covid-19 tanpa gejala.

Ongkos politik merupakan beban terbesar para pasangan calon (paslon) di Pilkada mulai dari mahar politik, beban biaya tim sukses, saksi di TPS juga kampanye.

Penyelenggara Pemilu dan pemerintah mengimbau untuk melakukan kampanye online dari pada kampanye tatap muka untuk mencegah terjadinya penyebaran Covid-19.

Secara kasat mata kampanye online mengeluarkan biaya lebih ringan ketimbang kampanye konvensional yang melibatkan massa dengan membuat acara besar.

Baca Juga: Kesenjangan Baby Boomer dan Milenial Soal Kampanye Online

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menyatakan dana kampanye merupakan salah satu item terbesar paslon mengeluarkan biaya.

Hal ini sangat berkorelasi pada potensi tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah. Namun ICW belum bisa memastikan dana kampanye secara online mengeluarkan dana lebih ringan ketimbang dana kampanye konvensional.

"Karena dana kampanye itu baru kita dapatkan ketika mereka melaporkan usai semua pelaksanaan tahapan pilkada 2020," ucapnya saat dihubungi pada 4 Desember 2020.

Menurutnya, potensi kepala daerah melakukan korupsi harus dilihat dari berbagai aspek. Biaya atau ongkos politik itu menjadi penyebab utama kepala daerah korupsi.

"Karena mahalnya biaya politik, ada uang yang harus dikeluarkan. Pilihannya ada dua, Dia seorang pengusaha atau ada support dari pengusaha," jelasnya.

Kalau pengusaha, sambung Tama, Dia harus mengembalikan uangnya. Kalau disupport cukong, dia harus mengembalikan biaya promosi ketika dia menjabat.

Baca Juga: Hasil Perolehan Suara Sementara 7 Artis yang Ramaikan Pilkada 2020, Sahrul Gunawan Berpeluang

"Entah bicara konsesi, izin atau bicara soal tender atau proyek itu bentuk yang common bisa terjadi," katanya.
Beberapa item mahalnya biaya politik, menjadi faktor dampak pertama terjadinya korupsi. Pertama ialah membeli perahu atau partai dimana dia menjadi kandidat.

"Banyak kepala daerah yang dimintai uang oleh partai. Kenapa dia mahal dapatkan tiket harus bayar, harusnya partai menentukan kader terbaiknya," katanya.

Kedua yaitu biaya untuk tim sukses, dimana tim sukses harusnya digawe oleh orang partai, jikalau infrastruktur partai tersebut bagus. Ketiga dana survey dan membuat event. Keempat, uang saksi di TPS.

"Kelima Kampanye, karena itulah yang kemudian keluar banner dengan perinciannya yang menjadi pelaporan terakhir. Disitu dana kampanye penyebab secara tidak langsung biaya politik jadi mahal," katanya.

Tama juga mengatakan kampanye online punya kemudahan dan keterbatasan juga, mungkin kemudahan dalam menekan biaya tapi keterbatasannya hanya menyasar mereka yang melek teknologi.

"Bicara kampanye online ada kemudahan menekan biaya, tapi banyak keterbatasan konteksnya hanya menyasar mereka yang punya gadget. Bagaimana dengan petani yang ada di pojok sana," jelasnya.

Senada diungkapkan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang menyatakan tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah berhubungan erat dengan kecenderungan kepala daerah terpilih untuk membalas jasa atas dukungan dana dari donatur sejak proses pencalonan, kampanye, sampai pemungutan suara.

Baca Juga: Hati-Hati Penipuan! Pengambilan Dana BLT UMKM Rp2,4 Juta Tidak Dapat Diwakilkan

"Sesuai survei KPK di 2018, harapan donatur kepada kepala daerah adalah kemudahan perizinan, ikut tender proyek pemerintah, keamanan menjalankan bisnis, kemudahan akses donatur atau kolega menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD, hingga kemudahan akses menentukan peraturan daerah," ucapnya saat dihubungi.

Menurutnya, donatur yang mendukung kepala daerah tersebut juga berharap menjadi prioritas bantuan langsung, serta prioritas dana bantuan sosial (bansos) atau hibah APBD.

Dia menjelaskan ada lima modus korupsi kepala daerah. Pertama, intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai dari Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial (bansos), dan program pengelolaan aset hingga penempatan anggaran pemerintah daerah (pemda) di BUMD.

Kedua berupa intervensi dalam penerimaan daerah, mulai dari pajak daerah atau retribusi, pendapatan daerah dari pusat, sampai kerjasama dengan pihak lain. Ketiga dalam aspek perizinan, mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan, sampai pemerasan.

Keempat benturan kepentingan dalam proses PBJ, mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan perangkapan jabatan.

"Serta kelima penyalahgunaan wewenang, mulai pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat, hingga pemerasan saat pengurusan rotasi, mutasi, atau promosi ASN," katanya.

Sementara itu, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Alfitra Salam mengatakan Pilkada di tengah pandemi membuka peluang lebar terhadap praktik politik uang.

Baca Juga: Kampanye Online Belum Jadi Primadona pada Pilkada 2020

"Potensi politik uang saat pandemi karena calon kepala daerah memiliki waktu kampanye yang terbatas, sehingga dana kampanye berkurang," jelasnya

Akibat tidak ada media yang efektif untuk kampanye di masa pandemi, salah satu media yang utama adalah uang. Menurutnya, saat masa pandemi uang yang digunakan kampanye berkurang.

DKPP meminta peran masyarakat untuk melaporkan setiap praktik ilegal penyelenggara Pilkada untuk ditindaklanjuti.***

Editor: Mula Akmal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah