JURNALSUMSEL.COM- Saat Senat Prancis bersiap untuk memperdebatkan RUU 'antiseparatisme Islam', kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengajukan penolakan terhadap RUU tersebut.
Hal itu bertujuan agar ketentuan yang dinilai bermasalah dari rancangan undang-undang antiseparatisme Islam tersebut dapat dibatalkan atau diubah.
Debat senat terjadi setelah para legislator di Majelis Rendah Parlemen Prancis yang didominasi oleh partai tengah Presiden Emmanuel Macron La République En Marche (LREM) mendukung RUU antiseparatisme Islam pada Selasa 30 Maret 2021.
Senat Prancis yang dipimpin oleh para konservatif itu diharapkan untuk menyetujui RUU antiseparatisme Islam tersebut.
Namun, Amnesty International mengatakan peraturan baru yang direncanakan berdasarkan undang-undang tersebut akan mengarah pada diskriminasi lebih lanjut terhadap minoritas Muslim di negara Prancis.
Peneliti Eropa Amnesty International Marco Perolini mengatakan RUU tersebut akan menjadi serangan terhadap hak dan kebebasan di Prancis.
"Undang-undang yang diusulkan ini akan menjadi serangan serius terhadap hak dan kebebasan di Prancis," ujar Marco Perolini.
Sedangkan, Pemerintah Macron mengatakan bahwa RUU tersebut akan menangani 'separatisme Islam' dan menggarisbawahi sistem sekuler negara Prancis.
Akan tetapi, para kritikus berpendapat bahwa hal tersebut justru akan melanggar kebebasan beragama secara tidak adil.
Terlebih RUU ini diduga menargetkan minoritas Muslim Prancis yang ada sebanyak 5,7 juta orang muslim di Prancis dan merupakan muslim terbesar di Eropa.
Baca Juga: Dinilai Rasis dan Islamofobia, Petisi Larangan Menggunakan Cadar Digaungkan di Swiss
Baca Juga: Pencairan BLT BPJS Ketenagakerjaan Awal April 2021, Begini Tanggapan Menaker Ida Fauziyah
Meskipun dalam Undang-undang tersebut tidak secara khusus menyebutkan kata Islam, namun Muslim Prancis telah lama memprotesnya, dengan mengatakan langkah-langkah tersebut menunjuk mereka.
“Berkali-kali kami telah melihat pihak berwenang Prancis menggunakan konsep 'radikalisasi' atau 'Islam radikal' yang tidak jelas dan tidak jelas untuk membenarkan penerapan tindakan tanpa dasar yang valid, yang berisiko mengarah pada diskriminasi dalam penerapannya terhadap Muslim dan minoritas lainnya. kelompok, ” kata Perolini, seperti dikutip Jurnal Sumsel dari Aljazeera.
Ia juga menyebut, lebih dari 50 pasal sebagai pasal bermasalah, termasuk Pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap organisasi yang mengajukan permohonan hibah dari Negara atau otoritas lokal harus menandatangani kontrak 'komitmen republik'.
Tak hanya itu, ia menyinggung Pasal 8, yang disebut akan menyerahkan kekuasaan lebih lanjut kepada otoritas dalam membubarkan organisasi.
Sementara itu, pemerintah Macron menyebut RUU tersebut bertujuan untuk mengatur homeschooling dan pendanaan asing dari organisasi keagamaan, dan menindak poligami serta dokter yang mengeluarkan sertifikat keperawanan.
Baca Juga: Ramai Seruan Boikot Imbas Presiden Prancis Emmanuel Macron, Ini Daftar Produk Prancis yang Terancam
Baca Juga: Pendaftaran CPNS 2021, Login di sscn.bkn.go.id dan Penuhi Syarat Ini
RUU ini muncul setelah adanya peristiwa tragis yang dialami guru Samuel Paty akibat menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada siswanya dengan dalih kebebasan berbicara.***