Dubes Rusia Sebut AS Menjadi Penyebab Perang di Ukraina Semakin Panjang hingga Jadi Provokator bagi Moskow

15 Mei 2022, 17:20 WIB
Rusia Tegaskan Tidak akan Menyerah di Ukraina, Antonov: Kami Yakin Tujuan Panglima Tertinggi Tercapai /Sergei Karpukhin/Reuters

JURNALSUMSEL.COM - Perang militer antara Rusia dan Ukraina belum juga reda memasuki bulan ketiga.

Meski sudah dilakukan perundingan damai beberapa kali, nampaknya baik Rusia maupun Ukraina sama-sama belum menemukan kesepakatan untuk mengakhiri perang yang sudah memakan banyak korban jiwa tersebut.

Semakin memanas, negara-negara barat dan Amerika Serikat (AS) juga terus memasok paket senjata bagi Ukraina dalam perang melawan Rusia.

Selama hampir tiga bulan, AS menjadi negara yang paling banyak terlibat dalam perang antar Rusia dan Ukraina.

Baca Juga: Jadi Salah Satu HP Termurah di Kelasnya, Ini Spesifikasi Xiaomi Redmi 10A yang Baru Rilis Tahun Ini

Seperti yang diketahui, AS sangat mengecam tindakan Vladimir Putin dalam memerintahkan pasukannya menyerang sebagian besar wilayah di Ukraina.

Sama-sama tak mau mengalah, Vladimir Putin juga menegaskan Rusia tak akan berhenti menyerang Ukraina jika tujuannya belum tercapai.

Sebelumnya artikel ini telah lebih dulu terbit di Pikiran Rakyat dengan judul "AS Perkeruh Situasi di Ukraina Bikin Rusia Merugi, Moskow Siap-siap Lakukan Pembalasan Setimpal".

Permasalahan yang bisa selesai dalam waktu cepat, kini terus melebar dan membuat peperangan semakin panjang.

AS dan Barat diduga juga masuk dalam setiap poin perundingan yang akhirnya membuat langkah diplomatik selalu gagal.

Baca Juga: Tips Membudidayakan Anggrek, Cukup Gunakan Alat Ini dan Berikut Langkah-langkahnya

Selain itu, kekuatan senjata yang dipasok AS dan Barat ke Ukraina dinilai menjadi faktor terparah dalam peperangan.

Tentara Ukraina dipaksa untuk menggunakan senjata pemberian AS dan Barat.

Hal itu membuat pertempuran semakin panjang dan rakyat Ukraina disebut Rusia paling banyak menderita.

Sementara elit militer dan lingkaran Presiden Ukraina menikmati dari bisnis senjata yang masuk ke negara mereka.

Rusia menilai situasi di Ukraina, dengan masuknya AS justru bukan solusi untuk menghentikan peperangan.

AS yang semakin terlibat dalam konflik dengan memasok senjata ke Kiev, tampak mengkhawatirkan.

Duta Besar Rusia untuk Amerika Serikat, Anatoly Antonov pada Sabtu, 14 Mei 2022, mengatakan, akan ada konsekuensi tak terduga, yakni kekuatan nuklir.

"AS sedang ditarik lebih dalam dan lebih ke dalam masuk konflik dengan konsekuensi yang paling tak terduga untuk dua kekuatan nuklir," kata Antonov di acara Soloviev Live.

Antonov mengatakan, bahwa Rusia dan AS adalah dua kekuatan yang bertanggung jawab atas keamanan di dunia.

Baca Juga: Usai Kunjungi Jang Ki Yong yang Sedang Wamil, Song Hye Kyo dan Pemain ‘Now We Are Breaking Up’ Reuni Lagi

Dia menilai situasinya saat ini semakin mengkhawatirkan, karena Washington memasok semakin banyak senjata yang kuat ke Ukraina.

Dikatakan Antonov apa yang dilakukan AS justru memprovokasi Moskow untuk membalas.

Diplomat tersebut menambahkan bahwa kebijakan AS juga membuat Eropa semakin bergantung pada Washington, terutama dengan dibekukannya proyek Nord Stream 2.

"Upaya luar biasa dilakukan oleh AS untuk membubarkan proyek NS1 (Nord Stream 1), dan akhirnya mereka berhasil hari ini," jelas Antonov.

"Proyek NS2 (Nord Stream 2) baru saja ditutup. Siapa yang menang? Tentu saja, AS, siapa memaksakan LNG mahal mereka ke dunia dengan harga tinggi. Eropa menjadi lebih bergantung pada Washington," tambah Antonov.

Nord Stream 2 adalah proyek pipa gas dengan kapasitas untuk membawa 55 miliar meter kubik per tahun, memungkinkan transit gas dari Rusia melintasi Laut Baltik ke Jerman.

Baca Juga: iPhone 14 Pro Max Bakal Rilis Akhir Tahun, Ini Spesifikasi HP yang Akan dibekali Chipset Terbaru A16 Bionic

Baik AS maupun Ukraina sangat keberatan dengan proyek tersebut.

Moskow mendesak negara-negara Barat untuk berhenti mempolitisasi peluncuran Nord Stream 2, dengan alasan bahwa itu adalah proyek komersial yang bermanfaat bagi Rusia dan Uni Eropa.

Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari setelah republik Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri meminta bantuan dalam menangkis provokasi Kiev.

AS dan negara-negara Barat lainnya sejak itu telah memberikan bantuan keuangan dan senjata kepada Kiev dan memberikan tekanan ekonomi pada Moskow.***(Rizki Laelani/Pikiran Rakyat)

Editor: Aisa Meisarah

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler