3 Tahun Anies Baswedan Menjabat Gubernur, PSI : Ini 10 Kemunduran Pemprov DKI Jakarta

- 16 Oktober 2020, 11:30 WIB
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. /Dok. Pikiran-Rakyat

JURNALSUMSEL.COM - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menjabat selama 3 tahun sejak dilantik pada 16 Oktober 2017.

Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta menilai kepemimpinan Gubernur Anies membawa berbagai kemunduran di Pemprov DKI Jakarta.

“Yang dimaksud kemunduran bisa berarti dua hal. Pertama, kemunduran yang dinilai dari kondisi saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya," ucap Idris Ahmad, Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta melalui keterangan tertulis 16 Oktober 2020.

Kedua, sambungnya, membandingkan apa yang telah dBaca Juga: 14 Hari Lagi, Begini Mekanisme Penetapan NIP Hasil Seleksi CPNS 2019

Baca Juga: WASPADA!!! Lalu Lintas Sekitar Istana Merdeka Ditutup Karena Demo BEM SI, Ini Pengalihannya

Idris mengatakan perlu bahwa, jika dibandingkan provinsi lainnya, DKI Jakarta memiliki anggaran yang sangat besar dan mendapatkan dukungan luar biasa dari pemerintah pusat.

"Jangan sampai anggaran, tenaga, dan waktu terbuang sia-sia karena keliru memilih prioritas dan salah kelola birokrasi,” katanya.

Berikut 10 kemunduran menurut Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta :

1. Pembahasan anggaran terlambat, bahkan terkesan ditunda-tunda.

Pembahasan rancangan APBD 2021 sudah terlambat lebih dari 3 bulan, sehingga hanya tersisa 1,5 bulan untuk membahas puluhan ribu mata anggaran.

Baca Juga: 6.000 Mahasiswa Jabodetabek Turun Aksi Demo, Polisi Siagakan 8.000 Personel Jaga Istana Merdeka

Baca Juga: Sudah Groundbreaking, Tol Trans-Sumatera ruas Palembang-Betung Ditarget Rampung 2022

RKPD 2021 sudah selesai diinput ke sistem e-budgeting, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk menunda pembahasan anggaran.

2. Transparansi anggaran buruk pada saat perencanaan maupun realisasinya.

pada masa Gubernur Anies, dokumen anggaran hanya dibuka setelah Gubernur dan DPRD selesai melakukan pembahasan dan bersepakat.

Artinya, warga hanya mengetahui anggaran setelah selesai dibahas, sehingga tidak memiliki ruang untuk menyampaikan saran dan masukan.

3. Nasib dana commitment fee Formula E Rp 560 M masih belum jelas.

Baca Juga: 9 Ruas Jalan yang Ditutup Sekitar Istana Merdeka Jakarta Karena Demo Hari Ini 16 Oktober 2020

Baca Juga: Ini Penyebab Acara ILC Semalam Dibatalkan, Karni Ilyas Sampai Datangi Rumah Dinas Mahfud MD

Pemprov DKI telah menyetorkan uang commitment fee Rp 360 miliar dan Rp 200 miliar kepada panitia Formula E.

Sementara, penyelenggaraan Formula E tahun 2020 dibatalkan, sedangkan untuk 2021 serba tidak pasti.
Namun demikian, belum terlihat kesungguhan niat dari Gubernur Anies untuk mengembalikan uang Rp 560 miliar tersebut.

4. Prioritas anggaran tidak jelas.

Di APBD 2020, contoh buruknya prioritas anggaran di Pemprov DKI bisa dilihat pada besarnya anggaran event yang mencapai Rp 1,5 triliun (termasuk Formula E Rp 1,2 triliun).

Bahkan, demi Formula E, Gubernur Anies memotong anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing sebesar Rp 455,4 miliar dan Rp 320,5 miliar.

Baca Juga: Striker Sriwijaya FC Beto Goncalves Berharap Polri Berubah Pikiran

Baca Juga: Kompetisi Liga 2 2020 Masih Belum Pasti, Bomber Sriwijaya FC Beto Goncalves: Pemain Sudah Jenuh

Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur air bersih.

Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD.

5. Normalisasi sungai mandek selama 3 tahun.

Program normalisasi sungai direncanakan sepanjang 33 kilometer (km). Hingga 2017, sudah dilakukan normalisasi sungai sepanjang 16 km.

Akan tetapi, dari 2018 hingga 2020 tidak ada kegiatan normalisasi sungai.

Baca Juga: Kapan Hasil Seleksi CPNS 2019 Diumumkan? Berikut Jadwal Lengkap Tahapannya

Baca Juga: Jadwal Balapan MotoGP Aragon: Tanpa Valentino Rossi

Pada tahun 2020 telah dilakukan pembebasan lahan saluran air 8,2 km.

Namun demikian, tidak jelas apakah pada 2021 telah dialokasikan anggaran normalisasi sungai pada lahan 8,2 km tersebut.

6. Realisasi naturalisasi sungai 0%.

Pada saat kampanye Pilkada, Gubernur Anies menelurkan gagasan naturalisasi sungai yang dianggap sebagai solusi ideal untuk menyelesaikan masalah banjir.

Di berbagai kesempatan, misalnya yang terbaru saat rapat pembahasan penanganan banjir bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang pada 7 Juli 2020, Gubernur Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti mengganti dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem.

Baca Juga: Terkonfirmasi Positif Covid-19, Bagaimana Nasib Peserta CPNS 2019 yang Ikut Tes SKB?

Baca Juga: Kronologi Valentino Rossi Dinyatakan Positif Covid-19

Di sisi lain, di akun instagram pada 26 September 2020, Gubernur Anies memamerkan hasil naturalisasi sungai di Kanal Banjir Barat (KBB) segmen Sudirman-Karet.

Namun, proyek ini berbeda dengan konsep yang dipaparkan oleh Gubernur Anies. Pasalnya, proyek di KBB tersebut berupa perkerasan beton untuk tempat nongkrong dan spot selfie.

Sama sekali tidak ditemukan aspek pencegahan banjir dan perlindungan ekosistem di situ.

7. Realisasi program DP 0 Rupiah hanya 0,26%.

Saat awal menjabat, Gubernur Anies menargetkan penyediaan 300.000 rumah selama 5 tahun (detik.com, 1 Februari 2018), atau 60.000 rumah per tahun.

Baca Juga: Valentino Rossi Positif Covid-19, Dipastikan Absen di MotoGP Aragon

Baca Juga: Kabar Gembira, Ini Jadwal Penyaluran Gelombang 2 BLT BPJS Ketenagakerjaan

Namun, 3 tahun berselang hanya tersedia 780 rumah atau hanya 0,26% dari target. Dari angka tersebut, jumlah yang dihuni hanya 278 unit. PSI mempertanyakan apakah Gubernur Anies benar-benar memiliki kemauan untuk menjalankan program DP 0 Rupiah.

8. Pembangunan Light Rail Transit (LRT) fase 2 masih 0%.

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), pembangunan LRT direncanakan sekitar 110 kilometer yang terbagi dalam 7 rute.

Di masa Gubernur Anies, pembangunan LRT fase 2 tidak kunjung dimulai. Padahal, bisa dilihat bahwa proyek ini memiliki dasar hukum yang kuat dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda.

Baca Juga: 200 Ribu Warga Kurang Mampu Belum Terdaftar Program JKN-KIS, Wakil Wali Kota Palembang: 2021 Selesai

Baca Juga: Menpan-RB Bilang CPNS 2021 Dibuka 1 Juta Slot, Deputi BKN: Belum Ada Kebijakan Resmi

9. Mandeknya penyusunan perda-perda tata ruang, termasuk yang mengatur pulau-pulau reklamasi.

Daftar perda tata ruang yang harus dibahas adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Selama 3 tahun, Gubernur Anies tidak menyerahkan rancangan perda-perda tersebut. Akibat dari mandeknya pembahasan perda-perda ini adalah mengganggu pengembangan Jakarta dan akan berdampak pada perizinan.

10. Kontrak Aetra dan Palyja berakhir pada 2023, namun belum ada persiapan untuk mengambil alih pengelolaan air bersih.

Sayangnya, baik Pemprov DKI maupun PAM Jaya belum melakukan inventarisasi aset, padahal waktu semakin dekat. PSI mendesak agar Gubernur Anies segera melakukan inventarisasi aset air bersih di Jakarta.***

Editor: Mula Akmal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x